Bukan kain batik yang digunakan sebagai bawahan atau sarung untuk paduan kebaya pernikahan yang ditawarkan Ristya, melainkan kain batik yang disulap menjadi gaun pengantin. "Kain batik itu milik Indonesia. Kenapa orang Indonesia tidak menggunakan batik di hari spesialnya?" kata Ristya.
Karena konsepnya batik, Ristya pun tidak takut bermain warna. Dari tujuh gaun pernikahan batik yang diciptakannya, semua berwarna jauh dari putih, yaitu biru, hijau, marun, dan emas. "Ada satu gaun yang tetap putih, tapi bagian roknya disisipkan kain batik," ujarnya.
Agar bentuk gaun pernikahan batik terlihat layaknya gaun modern, perempuan 25 tahun itu tidak menggunakan batik tulis dan kain katun. Yang dia pakai adalah batik cap di atas kain sutra atau satin. Kenapa menggunakan batik cap? "Kalau batik tulis, kainnya lebih kaku. Jadi bentuk gaun tidak bisa jatuh seperti gaun pernikahan modern," ujarnya.
Konsep gaun pengantin batik ini telah populer di masyarakat Surabaya dan Yogyakarta. Kini Ristya mencoba merambah pasar Jakarta. Untuk sebuah gaun pengantin, Ristya menawarkan harga sewa sekitar Rp 10-30 juta jika memesan secara khusus. Meski berkonsep modern, gaun buatannya bisa dipadankan dengan konde Jawa yang menggunakan rias paes atau jilbab. "Gaun memang modern. Tapi karena batik, jadi bisa tetap tradisional," katanya.
Gaun pengantin batik pernah juga dibuat oleh Chenny Han. Perancang senior yang sudah malang melintang di bidang busana pengantin ini pernah membuat gaun pengantin batik black and white bersama Josephine Komara alias Obin pada 2010. "Batik memiliki potensi bagus untuk dipakai sebagai bahan dasar gaun pengantin. Hanya saja, orang Indonesia terbiasa menilai pernikahan sebagai sesuatu yang sakral," kata Chenny.
CORNILA DESYANA | HADRIANI P
0 komentar :
Posting Komentar